Keharaman riba bersifat mutlak, riba diharamkan baik sedikit maupun banyak. Berbeda halnya dengan gharar. Gharar hanya dihukumi haram bilamana terdapat salah satu kriteria berikut

 

1. Nisbah gharar dalam akad besar

2. Keberadaan gharar dalam akad mendasar

3. Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang yang banyak

4. Gharar terjadi pada akad jual-beli

 

1. Nisbah gharar dalam akad besar

 

Jika nisbah gharar sedikit maka tidak mempengaruhi keabsahan akad, seperti; pembeli mobil yang tidak mengetahui bagian dalam mesin atau pembeli saham yang tidak mengetahui rincian aset perusahaan, atau pembeli kebun yang tidak mengetahui jumlah pasti hasil panen perbuah pertahunnya, tidaklah merusak akad yang dilangsungkan.

 

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata

 

Gharar dalam jumlah sedikit atau tidak mungkin dihindari, tidak mempengaruhi keabsahan akad. Berbeda halnya gharar dengan nisbah besar atau gharar yang mungkin dihindari

Al-Qorofi berkata

Gharar dalam ba’i ada tiga macam: Gharar yang nisbahnya dalam akad relatif besar maka gharar ini membatalkan keabsahan akad, seperti menjual burung di angkasa. Gharar yang nisbahnya dalam akad relatif kecil maka tidak membatalkan akad dan hukumnya mubah, seperti ketidakjelasan pondasi rumah atau ketidakjelasan jenis benang gamis yang dibeli. Gharar yang nisbahnya dalam akad pertengahan, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Apakah boleh atau tidak

Al-Baji berkata

Gharar dalam jumlah besar, yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bahwa jual-beli ini adalah jual-beli gharar

2. Keberadaan gharar dalam akad mendasar

Jika gharar dalam akad hanya sebagai pengikut maka tidak merusak keabsahan akad. Dengan demikian menjual binatang ternak yang bunting, menjual binatang ternak yang menyusui dan menjual sebagian buah yang belum matang dalam satu pohon hukumnya dibolehkan. Walaupun janin, susu dan sebagian buah tersebut tidak jelas, karena keberadaannya dalam akad hanya sebagai pengikut dan bukan tujuan akad jual-beli.

Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

Siapa yang menjual kebun kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan buah itu untuknya [HR. Bukhari dan Muslim]

Dalam hadits ini Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan sahnya jual beli kecun bila buah di pohon telah matang, padahal Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah di pohon dalam sebuah kebun sebelum buah itu menjadi matang (tua)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,

Nabi melarang menjual buah di pohon dalam sebuah kebun sebelum buat itu matang (tua), beliau melarang menjual dan pembeli untuk melakukannya [HR Bukhari dan Muslim]

Hal ini dikarenakan status buah di pohon kurma hanya sebagai pengikut, adapun tujuan objek jual-beli adalah pohon kurma dan bukan buahnya

Ibnu Qudamah berkata

Gharar yang terdapat pada akad yang statusnya sebagai pengikut dibolehkan …… seperti; menjual kambing yang sedang menyusui (menjual susu di dalam kantung susu hewan mengandung gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanyalah sebagai pengikut dalam transaksi), hewan ternak bunting (menjual janin di dalam perut induknya mengandung gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanya sebagai pengikut dalam transaksi) ….. dan tidak boleh bila dijual terpisah (seperti menjual janin hewan ternak saja yang berada dalam perut induknya)

3. Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak

Jika suatu akad mengandung gharar, tetapi akad tersebut dibutuhkan oleh orang banyak maka hukumnya sah dan dibolehkan.

An-Nawawi berkata

Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat menyusahkan kehidupan manusia maka akadnya dibolehkan

Ibnu Taimiyyah berkata

Madhorot gharar di bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsoh (keringanan) jika dibutuhkan oleh orang banyak, karena jika diharamkan madhorotnya lebih besar daripada dibolehkan

Dengan demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam tanah, seperti; wortel, bawa, umbi-umbian dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti: semangka, telur dan lain-lainb, sekalipun terdapat gharar. Karena kebutuhan orang banyak untuk menjual dengan cara demikian tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya atau dicabut dari tanah

4. Gharar terjadi pada akad jual beli

Jika gharar terdapat pada akad hibah/wasiat hukumnya dibolehkan

Misalnya

— Seseorang bersedekah dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal dia tidak tahu berapa jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan kepada orang lain, orang yang menerima tidak tahu isi dalam bingkisan tersebut, bisa jadi bernilai mahal, bisa juga tidak. Akad ini sah walaupun mengandung gharar.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

Tidak satu dinarpun dari harta warisanku dibagi. Seluruh harta yang kutinggalkan setelah dikeluarkan nafkah isteri-isteriku serta gaji pekerja yang mengurus, maka harta warisanku aku sedekahkan [HR Bukhari dan Muslim]

Jumlah sedekah yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak jelas (termasuk gharar), karena nafkah isteri dan gaji para pekerja tidak dapat diperkirakan saat nabi berwasiat, mungkin naik harganya mungkin juga turun setelah nabi wafat. Ini berdampak terhadap tidak jelasnya jumlah sedekah nabi.

Dengan demikian, maka gharar yang terdapat pada akad hibah, sedekah dan wasiat tidak mempengaruhi keabsahan akad.

Dari dalil ini para ahli fiqh membuat sebuah kaidah

Gharar dalam akad hibah tidak merusak akad

Source:

Tarmizi, Erwandi. 2013. Harta Haram Muamalat Kontemporer Edisi Empat. Bogor: PT Berkat Mulia Insani

 

 

Tambahan dari Al-Ustaadz Adni Kurniawan, Lc

 

setidaknya tiga syarat gharar yg tolerable: 
أَنْ يَكُوْنَ الَغَرَرُ يَسِيرْاً 
وَأَنْ لاَ يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ
وَأَنْ يَكُوْنَ تاَبِعاً أَوْ غَيرْ َمَقْصُوْدٍ

bahasa kerennya: negligible, inevitable, unintentional 

itu sebagian dr materi presentasi saya: fatwa DSN-MUI ttg Sharia Treasury