Mendapatkan indeks prestasi yang tinggi, mendapatkan gelar yang tinggi, bekerja di tempat yang bagus, memiliki riset yang banyak disitir oleh ilmuwan dunia merupakan hal-hal yang luar biasa.

Akan tetapi ingatlah bahwasannya hidup di dunia ini sementara. Pelajari pula agama, dalami dan amalkan!

Sebagian kolega berujar bahwasannya masyarakat lebih menilai tindakan nyata. Mereka tidak menilai dari gelar yang ada pada diri kita, indeks prestasi yang ada pada diri kita, dan hal-hal lain.

Masyarakat kita tidak hanya terdiri dari sekumpulan manusia yang tidak melihat gelar atau lulus telat yang penting kerja sosial. Ada pula sekumpulan orang dalam masyarakat kita yang melihat apa-apa yang telah penulis sebutkan pada awal untuk menjadi panutan dan pacuan dalam mengarungi pasang surut kehidupan.

Realita itu tercermin pada contoh-contoh dibawah
1. ‘Wih, itu tuh beliau doktor lulusan universitas muhammad bin su’ud riyadh, cumlaude lagi, selesai disertasi doktoral selesai pula buku beliau, pantes ilmu fiqh kontemporernya keren’
2. ‘Ah, beliau kan masih mahasiswa, ikut kajian yang doktor aja’
3. ‘Wih ada seminar prof. fulan, beliau jadi prof di barat pada usia 25 tahun, pasti keren, dateng yuk’
4. ‘Wih itu anak udah ip tinggi, bisa bahasa arab, ilmu agamanya keren, gimana sih caranya? dia ngaji dimana? ngaji disana juga yuk’
5. dan berbagai contoh lain

Bagaimana tanggapan beberapa asatidzah berkenaan hal-hal tersebut?

Penulis pernah bertanya pada Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan (1) mengenai ‘Apakah semua orang harus menjadi ustadz?’. Beliau -hafizhahullah- menjawab,

“Tidak semua orang harus menjadi ustadz, kalo Antum bisa menjadi ilmuwan yang tidak lupa mempelajari agama, maka jadilah! Islam itu membutuhkan semua hal, tidak hanya ustadz”

Penulis pernah menanyakan via pesan singkat kepada Ustadz Abdurrahman Hadi, Lc (2) mengenai ‘Saran menuntut ilmu agama semasa kuliah di perkuliahan umum’. Beliau -hafizhahullah- menjawab,

“Bagi waktu. Jangan sampai semangat ngaji bikin prestasi Antum jelek. Ana punya teman di ** dahulu, karena manajemen waktu yang salah IP dia cuma sekitar 1 atau 2. Ini salah karena nanti dianggap gara-gara ikut pengajian prestasi jadi jatuh”

Apakah hanya fokus pada bidang ilmu atau kerja kemudian melupakan aspek sosial? Tidak.

Prof. Nelson Tansu (3), dalam seminar beliau pada di ruang seminar utama fisika pada hari Jumat, menyampaikan bahwasannya fisikawan atau ilmuwan secara umum yang dibutuhkan bukan yang ‘nerdy’ tapi yang bisa bersosial juga, mengerti akan topik saat ini, dan dapat memberikan solusi pada beberapa kasus yang hadir di masyarakat.

Nah, pada akhir dari status ini penulis menyimpulkan bahwa janganlah kita membuat stereotip terhadap sebuah kasus tanpa membuat kajian-kajian dari berbagai sudut pandang. Sebagai penutup dari status ini, penulis ingin menyampaikan sebuah hadits dari nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تَعْجَز

“Bersemangatlah pada apa yang bermanfaat bagimu! Mintalah pertolongan pada Allah semata! Dan janganlah engkau lemah!”

Kemudian, bantulah penyeru dakwah Islam dengan profesi yang halal sebagaimana keumuman firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa

تَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

“Bertolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa!”

Wallahu ta’aalaa a’lam. Semoga bermanfaat.

—————-

Footnote:
(1). Beliau adalah doktor dalam bidang aqidah lulusan Universitas Islam Madinah, KSA. Beliau merupakan dosen di STDI Imam Syafii Jember dan pengisi materi aqidah di Radio Rodja 756 AM
(2). Beliau adalah lulusan LIPIA Jakarta yang saat ini menjadi dosen di STAI Ali bin Abi Tholib Surabaya. Beliau juga salah satu narasumber di Radio Suara Al-Iman, Surabaya.
(3). Beliau adalah Associate Professor di departemen Electrical and Computer Engineering, Lehigh University, USA serta alumni TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia)