Ditulisulang dari artikel Majalah As-Sunnah Edisi 02 Mei 2009

Fiqh Nawazil

[Diangkat oleh Ahmad Nusadi dari kitab Fiqh Nawazil 1/18-25 karya Muhammad Husain Al-Jizani]

Fiqh Nawazil terangkai dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu fiqh dan nawazil. Sebelum kita mengetahui makna fiqh nawazil setelah dirangkai menjadi satu dan menjadi sebuah nama, maka terlebih dahulu kita sebaiknya mengetahui makna dua kata tersebut.

Fiqh secara bahasa berarti memahami, sedangkan menurut istilah artinya memahami hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan amal perbuatan berdasarkan dalil-dalil rinci dari al-quran dan al-hadits.

Nawazil adalah bentuk plural dari kata nazilah yang memiliki makna asal ‘yang turun atau yang mampir’. Namun kata ini sudah menjadi sebuah nama bagi bencana yang menimpa. Dari sini kemudian kita kenal qunut nazilah.

Kemudian kata ini terkenal penggunaannya di kalangan ulama ahli fiqh untuk menggambarkan suatu permasalahan baru di tengah umat dan menuntut adanya ijtihad dan penjabaran hukum.

Makna ini terfahami dari perkataan beberapa ulama, misalnya perkataan Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhluhu

Sebuah bab tentang berijtihad dengan akal berdasarkan kaidah-kaidah pokok saat tidak ada (keterangan) dari nash-nash (alquran dan assunnah) ketika nazilah (permasalahan baru yang menuntut ijtihad dan penjabaran hukum,-pent.) terjadi.

Juga perkataan Imam Nawawi saat menjelaskan salah satu sabda rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam

…. dalam hadits ini terdapat (pelajaran) tentang kebolehan para pemimpin melakukan ijtihad pada masalah-masalah baru dan mengembalikan permasalahan ini kepada kaidah-kaidah pokok [1]

Juga Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah mengatakan

Ini sebuah pasal yang menjelaskan bahwa para sahabat rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ijtihad pada nawazil (kasus-kasus baru yang terjadi)

Makna inilah yang diinginkan dalam kalimat fiqh nawazil

Memahami hukum-hukum syariat terkait dengan kejadian-kejadian baru yang mendesak

Kesimpulan dari pengertian di atas adalah bahwa sebuah permasalahan dapat dikategorikan nawazil apabila

1. Sudah terjadi. Ini berarti permasalahan yang belum terjadi tidak bisa dikategorikannawazil. Namun permasalahan yang ditenggarai besar kemungkinan akan terjadi sebaiknya dibahas dan diperhatikan

2. Baru. Maksudnya permasalahan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Peristiwa yang merupakan pengulangan dari peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya, tidak bisa dimasukkan nawazil.

3. Syiddah. Maksudnya permasalahan ini menuntut segera diterapkan hukum syariat. Kasus-kasus baru tidak dapat dikategorikan nawazil jika tidak menuntut dan memerlukan hukum syariat. Misalnya kasus-kasus baru, yang hanya memerlukan analisa tenaga medis, seperti keberadaan penyakit baru. Juga terkait dengan kekacauan ekonomi dan suhu politik suatu negara. Kedua contoh ini tidak bisa dikategorikan nawazil. Juga, kejadian-kejadian baru di tengah masyarakat muslim. Ini juga tidak bisa dikategorikannawazil, kecuali jika dikhawatirkan akan terjadi di tengah masyarakat muslim.

Footnote

[1]. Syarah Shahih Muslim