Paradigma Jurusan
Kebanyakan insan pelajar di jenjang SMA ingin untuk meneruskan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi seperti melanjutkan ke PT (Perguruan Tinggi) baik negeri maupun swasta. Akan tetapi kebanyakan dari mereka, masih ada saja yang tergerus dalam polemik pemilihan jurusan. Kebanyakan dari mereka masih mempercayai beberapa jurusan yang dianggap dapat menghasilkan keuntungan besar setelah berhasil menempuh pendidikan tersebut. Paradigma seperti ini yang harus diubah oleh seorang siswa.
Mengapa? Saya ambil contoh satu jurusan terkemuka di Indonesia, yaitu kedokteran. Hampir 50% dari siswa di sebuah sekolah ternama di kota-kota besar di belantara Indonesia ingin melanjutkan pendidikan ke jurusan kedokteran. Ketika ditanya mengapa mereka ingin kesana, jawaban mereka tidak memberikan sebuah intentions untuk menjadi dokter berkelas. Contoh jawaban mereka adalah “Memang sekolahnya lama, tapi uang yang akan didapat juga banyak” “Disuruh orang tua” dan lain sebagainya.
Yang ingin saya tanggapi adalah jawaban-jawaban seperti ini tidak menunjukkan kesiapan mereka untuk menghadapi era perkuliahan. Dimana perkuliahan tidak saja sekedar belajar seperti di SMA. Di era perkuliahan, kita dituntut mampu belajar mandiri, selalu berpikir, mengadakan riset, dan semacamnya. Kuliah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hari ini belajar, besok lulus, jadi dokter, kemudian kaya. Ini adalah anggapan yang salah.
Apa yang menjadi penyebab timbulnya paradigma jurusan seperti ini? Hemat saya, penyebab timbulnya paradigma seperti ini adalah kurangnya pengetahuan umum dari siswa SMA tersebut, orangtua mereka, kemudian akademisi di SMA siswa belajar. Mengapa saya berani membuat kesimpulan seperti ini? Pertama, kebanyakan siswa pada jenjang SMA lebih menyukai menghabiskan waktu bersama teman-teman sejawat pada hal-hal yang kurang membawa manfaat, kemudian lupa akan kewajiban mereka belajar. Dan yang menjadi sorotan utama kita adalah kurangnya rasa ingin tahu siswa terhadap bidang yang ia geluti. Hal ini tercermin dari cara mereka belajar, contohnya fisika. Di Amerika, materi fisika ketika high school tidak seberat materi di SMA Indonesia. Akan tetapi mengapa siswa Amerika lebih sukses dibanding siswa Indonesia? Jawabannya mudah, mereka ingin tahu. Mereka ingin tahu darimana rumus-rumus itu berasal, bagaimana cara kerja sebuah mekanisme, dan lain sebagainya. Tidak seperti di Indonesia, kebanyakan siswanya hanya terpaku pada menghafal rumus, menggunakan cara cepat yang diajarkan lembaga bimbingan belajar non-formal.
Kedua, kebanyakan orangtua siswapun belum membuka pengetahuan mereka akan cakrawala dunia yang selalu menuntut perubahan. Sebagai contoh, seorang orangtua salah seorang teman mengancam anaknya dengan kalimat pembunuh “Pokoknya harus FK, bisnis manajemen itu susah cari kerja” Ini adalah sebuah ragam pemikiran keliru dan menghancurkan mimpi buah hati hanya karena sifat katak dalam tempurung orang tua. Sebuah jurusan ketika didompleng dengan kata-kata ‘Kedokteran Jurusan Sukses, Fisika FMIPA Jurusan Guru’ (baca: pemahaman sebagian masyarakat bahwa guru itu adalah orang yang kurang dalam harta) akan memperkeruh citra pendidikan di Indonesia. Pengelompokan antara jurusan sukses dan jurusan susah sukses akan menghilangkan insentif siswa-siwa dalam berprestasi.
Ketiga, kebanyakan akademisi siswa di SMA (baca: guru-guru) khususnya di Indonesia kurang tepat dalam memaknai makna menjadi seorang akademisi. Yang ada di benak saya selama menempuh pendidikan SMA adalah akademisi masuk dalam kelas, memberikan materi, kemudian pergi. Sangat sedikit yang memberikan kita bekal-bekal di masa depan. Dan kebanyakan akademisi ketika siswa-siswanya lulus yang mereka banggakan adalah mereka yang masuk di jurusan kedokteran. Ini adalah sebuah contoh yang tidak baik, secara tidak langsung mereka memberikan mindset bahwa kedokteran lah jurusan yang paling banyak kontribusi untuk negeri kita ini.
Sebagai penutup, saya menyarankan kepada teman-teman semua untuk membuka benak kita kepada cakrawala dunia, menghancurkan tempurung yang selama ini menutupi pemikiran kita, mengasah kemampuan kita di bidang yang benar-benar menjadi senjata kita untuk berpartisipasi dalam membangun dunia dan berkontribusi penuh terhadap perubahan peradaban dunia ke era yang modern dan lebih baik.
Live your Life!
numpang komen nih.. Emang kayak gitu kalau misalnya kita hidup di negara berkembang.. Kebutuhan riset yang harusnya jadi makanannya orang FMIPA kayak nggak dibutuhin. Jadi deh ujung2nya jadi dosen pula, atau guru, atau sejenisnya. Padahal kan FMIPA itu sebenarnya arahnya ke riset kan. Dan satu lagi, karena pandangan udah kayak gitu, akhirnya input yang masuk pun juga bukan input yang bener-bener terseleksi. Akhirnya ada sebagian orang yang mikir, “pingin gampang masuknya? Udah masuk FMIPA aja..” Nah, bahkan dosen kimia saya juga berkata seperti itu, entah bercanda atau tidak, beliau mengatakan,”Loh, masak anak FTI ini pada nggak bisa soal gini? Lah gimana dengan anak FMIPA saya? (beliau dosen FMIPA). Nah ternyata itu seolah mencitrakan kalimat seperti ini, “bisa masuk FTI, STEI, kedokteran, perminyakan, dsb itu berarti pinter” Tapi kalau masuk FMIPA, jarang yang berfikir bahwa anak itu memang punya passion di sana. Nah itulah salah paradigmanya orang Indonesia. Dan masalah utamanya ya mungkin juga karena masalah2 yang dialami oleh bangsa ini sendiri yang membuat mereka berfikiran seperti itu.
Eh, tp disini saya jujur saya sangat menghargai orang FMIPA. Karena yang jelas mereka berani menantang arus, dan juga sebenarnya FMIPA ilmu yang masih luas sekali. Sekedar share saja, ibu saya dulu fisika its. Beliau bercerita, pernah ada proyek yang seharusnya diambil oleh anak jurusan f***** teknik. Namun ternyata karena secara keilmuan lebih mapan FMIPA, jadi ibu saya yang berhasil diterima dalam proyek itu. Ya begitulah, semoga yang pengen FMIPA dikuatkan mentalnya dan bisa berguna untuk bangsa ini. Semangat!!
آمين